Surabaya,Komposisinews.com – Kalau dulu mungkin kita telah mengenal atau pernah mendengar istilah “Akidah dan Akhlak” saat duduk di bangku sekolah. Atau ada juga yang menyebutnya “Pendidikan Budi Pekerti”. Bahkan dulu pernah ada sebuah mata pelajaran yang bernama “Pendidikan Moral Pancasila”.
Dari beberapa istilah seperti yang tersebut di atas, telah mengisyaratkan bagi kita semua tentang betapa pentingnya sebuah “adab” dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.
Kedudukan “adab” adalah jauh di atas ilmu. Intinya, apalah artinya memiliki ilmu yang sangat tinggi sekalipun, apabila sama sekali tidak mempunyai adab dalam perikehidupan sehari-hari.
Adab menyangkut tentang akidah dan akhlak yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur tentang etika, tata krama, moral, atau sopan-santun, yakni sopan dalam berucap & santun dalam bersikap terhadap sesama dalam bermasyarakat.
Kemudian berbicara tentang etika, tata krama, moral, maupun sopan-santun, tentu di dalamnya mengandung norma-norma kesusilaan dengan menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat dan martabat serta harga diri seseorang serta menjaga hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tentunya ada aturan dan tatanan serta norma-norma yang wajib ditaati dan dipatuhi, baik secara tulisan bahkan secara lisan sekali pun.
Manusia di samping sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial sehingga dalam berkomunikasi, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan sesama maka antara ilmu dan adab tidak selamanya akan bisa berbanding lurus.
Memang, kedudukan adab adalah di atas ilmu. Fakta dan realita di sekitar lingkungan kita, baik di lingkungan pemukiman maupun di lingkungan pekerjaan, misalnya, tidak jarang dijumpai seseorang yang strata pendidikannya sangat tinggi sekali pun,namun sama sekali tidak memiliki adab, baik dalam ucapan maupun tindakan dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari.
Survei telah membuktikan, seorang “atasan” dalam sebuah perusahaan, instansi, atau institusi, tidak sedikit yang sama sekali tidak menerapkan etika, tata krama, moral maupun sopan-santun terhadap “bawahannya” sehingga seakan-akan atau seolah-olah bahwa seorang “atasan” boleh saja dan sah-sah saja berbuat amoral alias asusila tanpa berpegang teguh pada etika dan tata krama ketika berhadapan dengan “bawahan”-nya. Nyaris tidak ada yang mempersoalkannya jika sang “atasan” mencaci-maki, maupun menghujat sang “bawahan”-nya. Mestinya, sebagai seorang “atasan” memberikan contoh dan suri teladan yang “baik & benar” kepada “bawahan” dalam berucap dan bersikap.
Etika dan tata krama dimulai dari keluarga kita sendiri, yakni kita sebagai orang tua dengan memberikan arahan dan bimbingan serta praktik langsung secara dini kepada putra-putri kita tentang pentingnya etika dan tata krama untuk menghormati orang tua atau orang yg di-“tua”-kan, menghormati kakak & adik, termasuk tentang etika dan tata krama di dalam keluarga alias di rumah hingga di masyarakat serta di lingkungan kerja.
Lebih baik kita menjadi orang yg “disegani” ( Bahasa Jawa: “disungkani” ) daripada “ditakuti” oleh sesama. Moral identik dengan harkat dan martabat seseorang sehingga orang yang tidak bermoral maka tentu saja harkat dan martabatnya akan menjadi hina-dina di hadapan dan pandangan masyarakat, meskipun strata pendidikannya sangatlah tinggi dan harta-benda serta kekayaannya amat sangat melimpah sekali pun.
Marilah kita menjadi manusia yang seutuhnya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika, tata krama, moral, dan sopan-santun dengan menghargai dan menghormati hak asasi manusia yang berharkat dan bermartabat guna diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh serta secara langsung dalam berkomunikasi, bersosialisasi, dan berinteraksi di dalam keluarga, lingkungan sekitar, baik di sekolah, kampus, maupun pekerjaan.
Demikianlah, sekelumit tulisan yang teramat singkat tentang etika dan tata krama. Semoga bermanfaat.
Penulis : Prof. Dr. SUGENG TJAHJONO, ST, SH, MM, PhD ( Sosiolog ).( Red )