Surabaya, Komposisinews.com – Sesjen Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Laksdya TNI Dr. Ir. Harjo Susmoro, S.Sos,. S.H,. M.H,. M.Tr.Opsla, didampingi sejumlah pejabat Wantannas, menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi-I DPR RI, kamis (8/9/2022). Agenda RDP tersebut adalah pembahasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Wantannas Tahun 2023 dan pembahasan Isu-Isu Aktual yang akan dijadikan sebagai Rancangan Kebijakan kepada Presiden pada tahun 2022 dan 2023 mendatang.
“Wantannas adalah lembaga pemerintah non kementrian yang diketuai oleh Presiden selaku kepala negara dan mempunyai tugas membantu Presiden selaku kepala pemerintahan dalam menyelenggarakan pembinaan ketahanan nasional guna menjamin terwujudnya cita-cita, tujuan dan kepentingan nasional Indonesia,” kata Harjo dalam pembukaan awal penyampaian paparannya. Dalam laporannya disampaikan juga bahwa di tahun anggaran 2021 Wantannas telah mendapatkan penilaian kenerja anggaran untuk dari Dirjen Anggaran Kemenkeu dengan nilai 94,73 (sangat baik), opini atas laporan keuangan BPK RI dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian yang ke 15 kali berturut-turut, penilaian hasil evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi oleh Kemenpan RB dengan nilai 67,56 (predikat B) dan hasil evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dengan nilai 65,72 (predikat B).
Lebih lanjut Harjo menyampaikan bahwa berdasarkan Surat Bersama Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Bappenas Nomor S-617/MK.02/2022 dan B.557/M.PPN/D.8/PP.04.02/07/2022 tanggal 27 Juli 2022, Wantannas pada tahun 2023 mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp.53.571.307.000,- yang meliputi anggaran Belanja Pegawai dengan pagu sebesar Rp.27.104.557.000,-, Belanja Barang Operasional dengan pagu sebesar Rp.13.867.335.000,- dan Belanja Barang Non Operasional dengan pagu sebesar Rp.12.599.415.000,-. Dilaporkan juga berkait dengan isu-isu trategis yang telah direkomendasikan kepada Presiden TA 2022 dari Januari hingga sekarang telah disampaikan sebanyak 35 rekomendasi kebijakan strategis negara dan semua telah direspon dan diteruskan kepada K/L terkait untuk ditindak lanjuti.
Pada kesempatan pembahasan dan diskusi, berawal dari anggota Komisi-I DPR RI, Nurul Arifin, menanyakan terkait isu perubahan Wantannas (Dewan Ketahanan Nasional) menjadi Wankamnas (Dewan Keamanan Nasional) yang sempat muncul di media, selanjutnya disampaikan oleh Harjo “Bahwasannya dilihat dari sejarahnya, lembaga Dewan Ketahanan Nasional sebenarnya bukanlah lembaga baru demikian juga pembentukan Dewan Keamanan Nasional, namun merupakan transformasi dari lembaga yang dibentuk sejak era Presiden Ir. Soekarno dengan nama Dewan Pertahanan Negara (1946), kemudian berubah menjadi Dewan Keamanan Nasional (1954), Dewan Keamanan (1955), Dewan Pertahanan Nasional (1961), dan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (1970) dan terakhir tahun 1999 berubah menjadi Dewan Ketahanan Nasional. Perubahan nama tersebut terjadi seiring dengan dinamika ancaman keamanan nasional saat itu.
Saat ini dengan perkembangan dimensi ancaman yang semakin kompleks dan dinamis, keamanan nasional tidak lagi hanya dipandang sebagai ancaman kedaulatan negara atau hanya berkaitan dengan keamanan publik, namun juga sudah mencakup ancaman diberbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, ancaman yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan, ancaman yang dapat mengganggu ketertiban publik dan ancaman yang dapat mengganggu individu-individu warga negara (bahaya kelaparan, kemiskinan, penyakit, kebodohan, dan lain sebagainya). Keamanan nasional memiliki dimensi yang lebih luas mencakup keamanan kedaulatan, keamanan pemerintahan, keamanan publik tu sendiri, keamanan individu, keamanan ideologi, keamanan politik, keamanan ekonomi, sosial budaya, keamanan energi, keamanan pangan dan lain sebagainya. Yang tentunya tidak bisa dihadapi secara parsial, namun harus secara bersama-sama.Oleh karena itu untuk memutuskannya hanya dapat dilaksanakan melalui sebuah forum dewan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, cepat dan tepat dalam mengatasinya, yaitu Dewan Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Presiden.
Keamanan nasional memiliki dimensi yang lebih luas dan itu menjadi tanggung jawab Presiden selaku kepala negara untuk mewujudkannya. Oleh karena itu nomenklatur “Dewan Ketahanan Nasional” dirasa sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi isu-isu ancamanan keamanan nasional saat ini sehingga perlu diadakan validasi dan revitalisasi menjadi “Dewan Keamanan Nasional”. Divalidasi karena susunan anggota Wantannas telah banyak mengalami perubahan nomenklatur dan direvitalisasi karena peran, tugas dan fungsi Wantannas sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan untuk merespon dengan cepat dimensi ancaman nasional yang semakin kompleks dan dinamis. Dan faktor ketahanan adalah bagian dari syarat keamanan. Dan perwujudan Dewan Keamanan Nasional juga sebagai bentuk implementasi dari demokrasi Pancasila dimana Presiden selaku Kepala Negara dalam merumuskan sebuah kebijakan yang bersifat strategis, urgent, dan mendesak tidak bisa diputuskan sendirian namun membutuhkan pertimbangan dan masukan dari forum dewan tersebut yang terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap, sehingga akan terhindar dari kesalahan pengamblan keputusan dalam merumuskan sebuah kebijakan strategis negara.
Lebih lanjut harjo juga menjelaskan keberadaan lembaga Dewan Keamanan Nasional/Wankamnas (National Security Council/NSC) dibeberapa negara di dunia. Misalnya, Rusia membentuk Dewan Keamanan Federal Rusia tahun 1991. Demikian juga India tahun 1999 membentuk National Security Council. Sementara Inggris yang sebelumnya tidak memiliki Dewan Keamanan Nasional, namun pada tahun 2010 mendirikan National Security Council, demikian pula Jepang pada tahun 1986 mengubah National Defense Council mereka menjadi Security Council of Japan dan pada tahun 2013 berubah lagi menjadi National Security Council, dan banyak negara juga melakukan hal yang sama terkait dengan pengelolaan keamanan nasionalnya ada sekitar 80 negara yang menggunakan nomenklatur dewan kemanan nasional demikian juga di Indonesia untuk mengatasi permasalahan yang sudah bersifat krusial, mendesak dan strategis serta multidimensi, diperlukan forum koordinasi tertinggi (highest coordination forum) guna mensinergikan kekuatan nasional melalui transformasi kebijakan dan strategi untuk menjadi instrumen kekuatan nasional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan Dewan Keamanan Nasional, sesungguhnya bukan hal baru dilihat dari sejarahnya, namun merupakan transformasi nama melalui validasi dan revitalisasi lembaga yang sudah ada yaitu Wantannas disebabkan adanya tuntutan dinamika perkembangan ancaman keamanan nasional yang semakin kompleks untuk dapat direspos dengan cepat dan tepat untuk menjamin jalannya roda pembangunan nasional. Dan proses pembahasannya telah dilaksanakan secara terbuka melalu berbagai forum diskusi FGD, RTD, Rapat kerja, Pokja, studi banding dengan beberapa negara besar (seperti USA, Inggris, Rusia, Cina, Turki, Jepang) dengan melibatkan berbagai komponen bangsa dan negara baik K/L maupun para profesional, akademisi Ormas, Tomas, Toga dan lain sebagainya, yang selanjutnya melalui Kemenpan RB telah diajukan ijin Prakarsa kepada Presiden melalui Kemen Sesneg sejak bulan Nopember 2021.
Adapun adanya isu kekhawatiran kembalinya pola penangan keamanan yang represif, maka dijawab oleh Harjo, hal ini terjadi karena ketidak pahaman dalam memaknaimakna “Dewan” dan cakupan peran, tugas dan fungsi Wankamnas (saat ini Wantannas), sehingga memahami keamanan hanya dalam arti sempit hanya dalam lingkup ketertiban masyarakat.Sebagaimana lembaga “Dewan” pada umumnya, maka Dewan Keamanan Nasional bukanlah lembaga operasional namun sebuah forum musyawarah untuk mencari solusi dan rekomendasi terhadap penyelesaian suatu masalah (periksa makna dewan di KBBI), kepada Presiden selaku pengambil kebijakan tertinggi di Indonesia, sebagaimana telah dijelasan sebelumnya.
Lewat penyampaian tersebut, anggota Komisi-I DPR RI selanjutnya menerima penjelasan tersebut dan diakhir pelaksanaan RDP menyatakan “Mendukung rencana perubahan nomenklatur dari Dewan Ketahanan Nasional menjadi Dewan Keamanan Nasional untuk lebih menguatkan peran, tugas, dan fungsi lembaga”. (NoviSH)