Ketum PJI Hartanto Boechori Semprit Oknum Hakim Agung

Hukum17 views

Gresik,Komposisinews.com–Hirarki (aturan urutan tingkatan kewenangan dari bawah sampai atas) kewenangan Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA) diatur dalam beberapa undang-undang dan aturan hukum di Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

– Pasal 10 ayat (1) menjelaskan bahwa peradilan dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi), dan pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung).

– Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dalam ruang lingkup aspek faktual dan hukum.

– Pengadilan Tinggi bertindak sebagai pengadilan banding yang memeriksa kembali putusan Pengadilan Negeri dalam hal terjadi keberatan terhadap putusan tersebut.

– Mahkamah Agung bertugas memeriksa penerapan hukum melalui kasasi.

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009)

• Pasal 30 ayat (1) menjelaskan bahwa Mahkamah Agung hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat kasasi. Di tingkat kasasi, MA tidak lagi memeriksa fakta atau bukti baru, tetapi hanya memeriksa penerapan hukum pada putusan yang sudah diambil di pengadilan bawah (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).

– Pasal 45A ayat (2) mempertegas bahwa kasasi di MA fokus pada penerapan hukum, bukan pada pemeriksaan ulang fakta-fakta dari perkara yang sudah disidangkan.

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan (Banding) di Jawa dan Madura

– Mengatur fungsi Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan banding yang memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali fakta-fakta dan bukti yang telah disidangkan di Pengadilan Negeri.

Secara umum, pengaturan hirarki dan kewenangan antara PN, PT, dan MA ini memastikan bahwa Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa aspek faktual, Pengadilan Tinggi untuk meninjau kembali keputusan dari PN termasuk bukti dan fakta yang ada, dan Mahkamah Agung berperan dalam memeriksa penerapan hukum tanpa menyidangkan ulang fakta-fakta atau bukti-bukti.

Lebih detil tentang hirarki peran PN, PT dan MA;

1. Peran dan Fungsi Pengadilan Negeri (PN) dalam Memeriksa Fakta

Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama tidak hanya memeriksa fakta-fakta dan bukti yang ada, tetapi juga menyusun argumentasi hukum yang menjadi dasar putusan mereka. Hal ini penting karena putusan di tingkat PN menjadi pijakan utama bagi pengadilan banding dan kasasi dalam menilai perkara.

2. Kewenangan Pengadilan Tinggi (PT) sebagai Pengadilan Banding

Pengadilan Tinggi tidak hanya memeriksa kembali fakta dan bukti, tetapi juga memberikan ruang untuk memperbaiki atau menguatkan penerapan hukum dari Pengadilan Negeri. Dalam beberapa kasus, PT dapat memperbaiki kesalahan penerapan hukum yang dibuat oleh PN, tetapi tetap berdasarkan fakta-fakta yang telah disidangkan di tingkat pertama.

3. Ruang Lingkup Pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung hanya berwenang dalam memeriksa penerapan hukum, yang berarti bahwa MA fokus pada aspek apakah hukum telah diterapkan secara benar di tingkat PN dan PT. Ini bisa menambah pemahaman publik mengenai keterbatasan MA dalam memeriksa ulang bukti-bukti atau fakta baru.

4. Prinsip Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak

Dalam sistem peradilan, terutama terkait dengan proses balik nama sertifikat di BPN. Jika BPN telah menyatakan keabsahan, maka ini menjadi aspek penting dalam menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah.

5. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh MA

Putusan MA yang menyimpang dari fungsi dasarnya (yang harusnya hanya memeriksa penerapan hukum), berpotensi penyalahgunaan kewenangan yang akan menjadi ancaman bagi sistem hukum Indonesia. Penerapan hukum kasasi di MA harus direformasi. (*)

Penulis: Hartanto Boechori, dari berbagai sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *